Minggu, 04 Mei 2014

Khalifah Al-Makmun



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Pembahasan tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dibagi dalam lima periodisasi, yaitu periode pembinaan pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW wafat sampai masa akhir Bani Umayyah, periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad, periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat dan periode pembaharuan pendidikan Islam yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini yang ditandai dengan gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.
Masa Peradaban Islam mencapai puncak keemasan pada masa Daulah Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini Negara Islam menjadi kiblat ilmu pengetahuan dari bangsa barat. Pada masa ini pula lahir beberapa ulama-ulama Islam yang tidak hanya berkompeten dalam bidang agama. Akan tetapi mereka juga menjadi perintis dari lahirnya beberapa ilmu dalam bidang eksakta. Sebagai contoh adalah Al-Khawarizmi yang dalam teorinya memunculkan angka 0 sebagai kelengkapan dari angka numerik arab. Kemudian ada Ar-Razi yang menemukan virus penyakit campak sekaligus membuat vaksinnya. Ada lagi Ibnu Sina yang mendapat julukan dari orang barat “ Bapak Kedokteran Modern” dengan karya-karyanya yang tidak perlu diragukan lagi dalam memberikan kontribusi di dunia kedokteran. Kemudian Ibnu Rusyd yang juga mengeluarkan karya dalam bidang filsafat dan kedokteran. Dan yang terkhir ada Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali dengan karyanya yang sangat fenomenal yakni Ihya’ Ulumuddin.
Popularitas Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M)[1].  Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Masa Kekhalifahan Abdullah Al Ma’mun. Yang didalamnya meliputi biografi, kebijakan-kebijakan pada masa kepemimpinannya, jasa-jasanya kepada para ilmuwan Islam, dan juga tentang kontroversi pembunuhan terhadap saudaranya sendiri “Al-Amin” serta kontroversi akan aliran “Mu’tazilah” yang dianutnya. Pembahasan pada masa ini merupakan rangkaian pembahasan Sejarah Pendidikan Islam, Karena pada hakikatnya suatu peristiwa sejarah seperti halnya Sejarah Pendidikan Islam selalu berkaitan dengan peristiwa lainnya yang saling berhubungan yang mengakibatkan terjadinya rentetan peristiwa serta memberinya dinamisme dalam waktu dan tempat.
Semoga dengan makalah ini pembaca dapat menambah pengetahuan tentang peristiwa sejarah khususnya Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Al-Ma’mun.

B.     Tujuan Makalah
Adapun tujuan dibentuknya makalah ini terbagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya adalah untuk memngisahkan kehidaupan dari pribadi Khalifah Muhammad Al-Ma’mun. Sedangkan untuk tujuan khususnya yaitu untuk:
1.      Mempelajari Biografi dari Khalifah Al-Makmun
2.      Memahami kisah-kisah hidup Khalifah Al-Makmun
3.      Mencari nilai pelajaran dari perjalanan hidup sang Khalifah

C.    Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ada pada makalah ini adalah :
1.      Ancaman-ancaman serangan dari Negara lain
2.      Pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat yang berbeda aliran dengan sang Khalifah
3.      Mempertahankan kedaulatan Bani Abbasiyah yang terus dirongrong oleh para pemberontak yang ingin mendirikan Kerajaan Sendiri




PEMBAHASAN
A.    Biografi Khalifah Al-Ma’mun
Abdullah Al-Makmun dilahirkan pada tanggal 15 Rabi'ul Awal 170 H / 786 M, bertepatan dengan wafat kakeknya Musa Al-Hadi dan naik tahta ayahnya, Harun Al-Rasyid. Al-Makmun temasuk putra yang jenius, sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca Al-Qur'an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi. Untuk belajar Hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan kedua puteranya Al-Makmun dan Al-Amin kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya itu belajar kitab Al-Muwattha, karangan Imam yang sangat singkat, Al-Makmun telah menguasai Ilmu-ilmu kesusateraan, tata Negara, hokum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuaan lainnya. Ia hafal Al-Qur'an begitu juga menafsirkannya. Al-Makmun menjadi khalifah setelah saudaranya Al-Amin meninggal dunia, sebagai khalifah yang ke-8 dari Daulah Abbasiyah, Ia terkenal sebagai seorang administrator yang termasyhur karena kebijaksanaan dan kesabarannya. Ia mencurahkan perhatiannya yang besar pada tugas reorganisasi pemerintahan ketika mengalami kemunduran selama pemerintahan Al-Amin. Ia melakukan peninjauan pengurus rumah tangga istana. Ia mengangkat para administrator yang ahli unuk menjadi gubernur di berbagai propinsi dan terus mengawasi langkah mereka.           
Al-Yazidi adalah orang yang menggemblengnya. Dia sering kali mengumpulkan para fukaha dari berbagai penjuru negeri. Dia memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam masalah fiqih, ilmu bahasa arab, dan Sejarah umat manusia. Saat dia menjelang dewasa, dia banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang pernah berkembang di yunani sehingga membuatnya menjadi seorang pakar dalam bidang ilmu ini. Ilmu  filsafat yang dia pelajari telah menyeretnya kepada pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Dia adalah tokoh Bani Abbasiyyah yang paling istimewa dalam kemauannya yang kuat, kesabaran, keluasan ilmu, kecemerlangan ide, kecerdikan, kewibawaan, keberanian dan ketolerannya. Dia memiliki kisah hidup panjang yang penuh dengan kebaikan-kebaikan. Sayangnya jejak kehidupannya yang demikian baik sedikit tercemari dengan peristiwa yang menggemparkan saat dia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pintar darinya. Dia adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah ‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya adalah diri saya sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas itu ada Fatihah (pembuka), wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun pembukanya adalah As-Saffah, penengahnya adalah Al-Makmun dan penutupnya adalah Al-Mu’tadhid.
B.     Peperangan Dengan Saudaranya Al-Amin
Pada 802, Harun ar-Rasyid, ayah dari al-Ma'mun dan al-Amin memerintahkan al-Amin untuk menggantikannya dan al-Ma'mun menjadi gubernur Khurasan dan sebagai khalifah setelah al-Amin. Dilaporkan bahwa al-Ma'mun lebih tua dari dua saudaranya, tetapi ibunya berasal dari Persia, sedangkan ibu Al-Amin merupakan anggota keluarga Abbasiyah. Setelah kematian ar-Rasyid pada tahun 809, hubungan antara dua saudara tersebut memburuk. Sebagai balasan atas gerakan al-Ma'mun diluar kekhalifahan, al-Amin mengangkat anaknya sendiri, Musa, sebagai penggantinya. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap wasiat ar-Rasyid, yang mengakibatkan terjadinya perang saudara dimana al-Ma'mun merekrut pasukan Khurasani yang dipimpin oleh Tahir bin Husain (meninggal 822), mengalahkan pasukan Al-Amin dan mengepung Baghdad. Pada 813, al-Amin dipenggal dan al-Ma'mun menjadi khalifah[2].
C.    Konsep Dasar Pendidikan Islam Pada Masa Al-Ma’mun
Pada masa khalifa ke-7 yaitu Al-Ma’mun ada dua konsep dasar pendidikan, yaitu multikultural dan intuisi.
1.        Konsep Dasar Pendidikan Multikultural
Menurut pakar pendidikan, Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multicultural sebagai “pendiidkan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demokrafi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sedangkan menurut Hariansyah, ditinjau dari sudut psikologi bahwa pendidikan multicultural memandang manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan. Bahwa manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas (jama’), heterogenitas (keanekaragaman), dan keberagaman manusia itu sendiri. Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigm, pola pikir, kebutuhan, keinginan dan tingkat intelektual.[3]
2.        Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Intuisi Pendidikan Islam
Intuisi pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun, termasuk kategori lembaga pendidikan Islam yang klasik. George Maksidi membagi intuisi pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria materi pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam, menjadi dua tipe, yaitu: intuisi pendidikan inkluisif (terbuka) terhadap pengetahuan umum dan intuisi pendidikan eksklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum.
Berdasarkan penggolongan George Maksidi, Intuisi Pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a)       Maktab/kuttab adalah intuisi dasar, maka yang diajarkan di maktab/kuttab adalah khat, kaligrafi, Al-Qur’an, akidah, dan syair.
b)     Halaqah artinya lingkaran (murid-murid yang melingkari gurunya yang duduk di atas lantai). Halaqah merupakan intuisi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan.
c)      Majelis adalah intuisi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai desiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam majelis, yaitu: majelis Al-Hadits, Al-Tadris, Al-Munazharah, Al-Muzakarah, Al-Syu’ara, Al-Adab, Al-Fatwa.
d)       Masjid merupakan intuisi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW.
e)      Khan berfungsi sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama satu diantaranya fiqh
f)        Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan dari kehidupan diniawi untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata.
g)      Rumah-rumah ulama digunakan untuk melakukan tranmisi ilmu agama, ilmu umum dan kemungkinan lain petdebatan ilmiah.
h)     Took buku dan perpustakaan berperan sebagai tempat tranmisi ilmu dan islam.
i)     Observatorium dan rumah sakit sebagai konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Intuisi Pendidikan Islam.[4]

D.                Jasa-Jasa Khalifah Al-Ma’mun
Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.
Lembaga lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan Islam.
Al-Makmun, pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya buku-buku asing digalakkan.[5] Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum.[6]
Tim penerjemah yang dibentuk Al-Ma’mun terdiri dari Hunain Ibn Ishaq sendiri dan dibantu anak dan keponakannya, Hubaish, serta ilmu lain seperti Qusta ibn Luqa, seorang beragama Kristen Jacobite, Abu Bisr Matta ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian, Ibn ‘Adi, Yahya ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran, bidang astrologi, dan kimia.[7] Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[8]
E.     Kontroversi-Kontroversi Al-Makmun
Salah satu kebijakan Al-Ma’mun yang paling sering mendapat sorotan ahli sejarah adalah sifat eksklusifnya pada pandangan Mu’tazilah. Kaum ini mendukung Al-Ma’mun menentang ahlisunnah serta ulama’ hadits. Al-Ma’mun ikut campur dalam masalah ideologi rakyatnya. Bahkan mendesak untuk memegang ideologi Mu’tazilah. Maka wajar pada masa ini para ulama banyak yang mengecamnya karena memberantas kebebasan. Bahkan tidak segan menggunakan pedangnya untuk menindas ulama yang menentang prinsipnya.[9]
Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits dan hadits berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?
Pada tahun 210 H, al-Ma'mun menikah dengan Buran binti al-Hasan bin Sahl. Persiapan pernikahan ini menelan biaya demikian banyak. Ayah Buran mencutikan beberapa komandannya dan menugasi mereka untuk mengurusi perkawinan anaknya selama 17 hari. Dia menulis di atas beberapa carik kertas nama-nama ladang yang dia miliki, lalu dia taburkan kertas itu kepada para komandan dan para pemuka Bani Abbas. Barangsiapa yang mendapatkan kertas yang bertuliskan nama ladang, maka Buran akan menyerahkan ladang itu kepadanya. Dia juga menaburkan guci yang berisi permata di depan al-Ma'mun saat malam pengantin.
Pada tahun 211 H, al-Ma'mun memerintahkan agar dikumandangkan bahwa dia berlepas diri dari siapapun yang mengatakan bahwa Mu'awiyah itu adalah orang baik. Dia juga memerintahkan kepada setiap orang bahwa orang yang paling mulia setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Talib. [10]
Pada tahun 212 H, al-Ma'mun menyatakan dengan terang-terangan bahwa al-Qur'an adalah makhluk disamping perkataannya bahwa Ali lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar. Akibatnya kaum muslimin merasa kesal dengan perkataan itu. Hampir saja ucapan-ucapan yang sangat kontroversial itu menimbulkan bencana besar dikalangan kaum muslimin. Ternyata rakyat sangat peka dengan masalah yang mereka anggap sebagai bagian penting dari agama itu. Akibat protes keras dari publik dan rakyatnya itu menghentikan ide-ide kontroversial al-Ma'mun.[11]



















PENUTUP
  1. Kesimpulan
Khalifah Al-Ma’mun mempunyai nama asli Abdullah Al-Makmun atau Al-Makmun Al-Rasyid atau Al-Makmun bin Al-Rasyid bin Al-Mahdi mempunyai gelar Abu Al-Abbas, lahir pada tanggal 15 Rabi'ul Awal 170 H / 786 M. Seorang khalifah bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813-833. Ia memerintah Kerajaan Bani Abbasiyah menggantikan posisi ayahnya yakni Harun Ar-Rasyid. Pada masa kepemimpinan beliau periode Islam mencapai puncak keemasan. Dengan ditandai oleh munculnya para ilmuwan-ilmuwan Islam pada zaman ini seperti Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan lain-lain sebagainya. Sampai pada saat itu kota Baghdad menjadi kiblat dari para ilmuwan dunia. Tak terkecuali oleh ilmuwan dari bangsa barat. Munculnya beberapa ilmuwan Islam ini berkat terobosan beliau pada masa kepemimpinannya. Seorang khalifah yang sangat menggilai ilmu ini mendatangkan beberapa buku dari Negara Eropa sekaligus penterjemahnya. Buku-buku ini dikumpulkan di sebuah perpustakaan yang berbasis perguruan tinggi yaitu Baitul Hikmah. Baitul hikmah ini sendiri disebut-sebut sebagai jasa terbesar yang diberikan oleh Khalifah Al-Makmun dalam Peradaban Islam.
            Akan tetapi dibalik kegemilangan dan keberhasilan Kerajaan Islam sebagai pusat peradaban dunia pada masa ini. Khalifah Al-Makmun menyimpan sebuah kontroversi. Beliau yang menganut aliran Syi’ah tidak segan-segan untuk menindas warganya bahkan para Ulama’ yang tidak mau mengikuti alirannya. Selain itu, faham Mu’tazilah yang dianutnya juga menyimpan sebuah perdebatan yang masih diperdebatkan oleh para ulama.
            Di samping semua kontroversi yang ada, tetaplah wajib untuk kita mengenang jasa Khalifah Al-Makmun. Karena berkat terobosan yang beliau lakukan, Islam bisa berbicara lebih dalam dunia internasional. Khususnya pada bidang Ilmu Pengetahuan. Berkat beliau jugalah Islam mampu menggapai puncak masa keemasannya dan menjadi Kiblat dari seluruh peradaban di dunia pada masa itu.


DAFTAR PUSTAKA
-          Maryam,Siti.2003. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta : Lesfi Yogyakarta
-          Rodliyana, M. Dede.Hegemoni Fiqih Terhadap Ahli Hadith.Jurnal Fiqh.Vol.1.No.1.2011
-          Rohimah. Tragedi Al-Mihnah (Studi Kasus Pada Masa Pemerintahan Al Makmun).Jurnal Ensiklopedi Islam.
-          Suwitno & Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Persada Media
-          Wikipedia diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ma%27mun_Ar-Rasyid tanggal 14 April 2014 Jam 13:37
-          Yatim,Dr Badri M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011


[1] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011
[2] Wikipedia diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ma%27mun_Ar-Rasyid tanggal 14 April 2014 Jam 13:37
[3] Suwitno & Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Persada Media
[4] Suwitno & Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Persada Media
[5] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011

[7] Siti Maryam.2003. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta : Lesfi Yogyakarta
[8] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011
[9] Rodliyana, M. Dede.Hegemoni Fiqih Terhadap Kitab Hadith.Jurnal Fiqh.Vol.1.No.1.2011
[10] Rohimah. Tragedi Al-Mihnah (Studi Kasus Pada Masa Pemerintahan Al Makmun).Jurnal Ensiklopedi Islam.
[11] Rohimah. Tragedi Al-Mihnah (Studi Kasus Pada Masa Pemerintahan Al Makmun).Jurnal Ensiklopedi Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar