PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan
tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dibagi dalam lima
periodisasi, yaitu periode pembinaan pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad
SAW, periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak Nabi Muhammad
SAW wafat sampai masa akhir Bani Umayyah, periode kejayaan (puncak
perkembangan) pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah
Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad, periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu
sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang ditandai
dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat
pengembangan kebudayaan ke dunia Barat dan periode pembaharuan pendidikan Islam
yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini yang
ditandai dengan gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.
Masa
Peradaban Islam mencapai puncak keemasan pada masa Daulah Dinasti Abbasiyah.
Pada masa ini Negara Islam menjadi kiblat ilmu pengetahuan dari bangsa barat.
Pada masa ini pula lahir beberapa ulama-ulama Islam yang tidak hanya
berkompeten dalam bidang agama. Akan tetapi mereka juga menjadi perintis dari
lahirnya beberapa ilmu dalam bidang eksakta. Sebagai contoh adalah
Al-Khawarizmi yang dalam teorinya memunculkan angka 0 sebagai kelengkapan dari
angka numerik arab. Kemudian ada Ar-Razi yang menemukan virus penyakit campak
sekaligus membuat vaksinnya. Ada lagi Ibnu Sina yang mendapat julukan dari
orang barat “ Bapak Kedokteran Modern” dengan karya-karyanya yang tidak perlu
diragukan lagi dalam memberikan kontribusi di dunia kedokteran. Kemudian Ibnu
Rusyd yang juga mengeluarkan karya dalam bidang filsafat dan kedokteran. Dan
yang terkhir ada Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali dengan karyanya yang sangat
fenomenal yakni Ihya’ Ulumuddin.
Popularitas
Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809
M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M)[1]. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
Masa Kekhalifahan Abdullah Al Ma’mun. Yang didalamnya meliputi biografi,
kebijakan-kebijakan pada masa kepemimpinannya, jasa-jasanya kepada para ilmuwan
Islam, dan juga tentang kontroversi pembunuhan terhadap saudaranya sendiri
“Al-Amin” serta kontroversi akan aliran “Mu’tazilah” yang dianutnya. Pembahasan pada
masa ini merupakan rangkaian pembahasan Sejarah Pendidikan Islam, Karena pada
hakikatnya suatu peristiwa sejarah seperti halnya Sejarah Pendidikan Islam
selalu berkaitan dengan peristiwa lainnya yang saling berhubungan yang
mengakibatkan terjadinya rentetan peristiwa serta memberinya dinamisme dalam
waktu dan tempat.
Semoga dengan makalah ini pembaca dapat
menambah pengetahuan tentang peristiwa sejarah khususnya Sejarah Pendidikan
Islam pada Masa Al-Ma’mun.
B.
Tujuan Makalah
Adapun tujuan dibentuknya makalah ini terbagi menjadi dua yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya adalah untuk memngisahkan
kehidaupan dari pribadi Khalifah Muhammad Al-Ma’mun. Sedangkan untuk tujuan
khususnya yaitu untuk:
1.
Mempelajari
Biografi dari Khalifah Al-Makmun
2.
Memahami
kisah-kisah hidup Khalifah Al-Makmun
3.
Mencari
nilai pelajaran dari perjalanan hidup sang Khalifah
C.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ada pada makalah ini adalah :
1.
Ancaman-ancaman
serangan dari Negara lain
2.
Pemberontakan
yang dilakukan oleh rakyat yang berbeda aliran dengan sang Khalifah
3.
Mempertahankan
kedaulatan Bani Abbasiyah yang terus dirongrong oleh para pemberontak yang
ingin mendirikan Kerajaan Sendiri
PEMBAHASAN
A.
Biografi Khalifah Al-Ma’mun
Abdullah Al-Makmun dilahirkan pada tanggal 15 Rabi'ul Awal 170 H /
786 M, bertepatan dengan wafat kakeknya Musa Al-Hadi dan naik tahta ayahnya,
Harun Al-Rasyid. Al-Makmun temasuk putra yang jenius, sebelum usia 5 tahun ia dididik
agama dan membaca Al-Qur'an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai
Nahvi dan Yazidi. Untuk belajar Hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan kedua
puteranya Al-Makmun dan Al-Amin kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya
itu belajar kitab Al-Muwattha, karangan Imam yang sangat singkat, Al-Makmun
telah menguasai Ilmu-ilmu kesusateraan, tata Negara, hokum, hadits, falsafah,
astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuaan lainnya. Ia hafal Al-Qur'an begitu
juga menafsirkannya. Al-Makmun menjadi khalifah setelah saudaranya Al-Amin
meninggal dunia, sebagai khalifah yang ke-8 dari Daulah Abbasiyah, Ia terkenal
sebagai seorang administrator yang termasyhur karena kebijaksanaan dan
kesabarannya. Ia mencurahkan perhatiannya yang besar pada tugas reorganisasi pemerintahan
ketika mengalami kemunduran selama pemerintahan Al-Amin. Ia melakukan
peninjauan pengurus rumah tangga istana. Ia mengangkat para administrator yang
ahli unuk menjadi gubernur di berbagai propinsi dan terus mengawasi langkah
mereka.
Al-Yazidi adalah orang yang menggemblengnya. Dia sering kali
mengumpulkan para fukaha dari berbagai penjuru negeri. Dia memiliki pengetahuan
yang sangat luas dalam masalah fiqih, ilmu bahasa arab, dan Sejarah umat
manusia. Saat dia menjelang dewasa, dia banyak bergelut dengan ilmu filsafat
dan ilmu-ilmu yang pernah berkembang di yunani sehingga membuatnya menjadi
seorang pakar dalam bidang ilmu ini. Ilmu filsafat yang dia pelajari
telah menyeretnya kepada pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Dia
adalah tokoh Bani Abbasiyyah yang paling istimewa dalam kemauannya yang kuat,
kesabaran, keluasan ilmu, kecemerlangan ide, kecerdikan, kewibawaan, keberanian
dan ketolerannya. Dia memiliki kisah hidup panjang yang penuh dengan
kebaikan-kebaikan. Sayangnya jejak kehidupannya yang demikian baik sedikit
tercemari dengan peristiwa yang menggemparkan saat dia mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk. Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang
lebih pintar darinya. Dia adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium
yang lantang. Tentang kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah
‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya
adalah diri saya sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas itu ada Fatihah
(pembuka), wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun pembukanya
adalah As-Saffah, penengahnya adalah Al-Makmun dan penutupnya adalah
Al-Mu’tadhid.
B. Peperangan Dengan Saudaranya Al-Amin
Pada 802, Harun ar-Rasyid, ayah dari al-Ma'mun dan al-Amin memerintahkan al-Amin untuk
menggantikannya dan al-Ma'mun menjadi gubernur Khurasan dan sebagai khalifah setelah al-Amin. Dilaporkan bahwa al-Ma'mun
lebih tua dari dua saudaranya, tetapi ibunya berasal dari Persia, sedangkan ibu
Al-Amin merupakan anggota keluarga Abbasiyah. Setelah kematian ar-Rasyid pada
tahun 809, hubungan antara dua saudara tersebut memburuk. Sebagai balasan atas
gerakan al-Ma'mun diluar kekhalifahan, al-Amin mengangkat anaknya sendiri,
Musa, sebagai penggantinya. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap wasiat
ar-Rasyid, yang mengakibatkan terjadinya perang
saudara dimana al-Ma'mun merekrut pasukan
Khurasani yang dipimpin oleh Tahir bin Husain (meninggal 822), mengalahkan
pasukan Al-Amin dan mengepung Baghdad. Pada 813, al-Amin dipenggal dan al-Ma'mun menjadi khalifah[2].
C.
Konsep Dasar
Pendidikan Islam Pada Masa Al-Ma’mun
Pada masa khalifa ke-7 yaitu Al-Ma’mun ada dua
konsep dasar pendidikan, yaitu multikultural dan intuisi.
1.
Konsep Dasar Pendidikan Multikultural
Menurut pakar pendidikan, Azyumardi Azra
mendefinisikan pendidikan multicultural sebagai “pendiidkan untuk atau tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demokrafi dan kultur lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sedangkan menurut Hariansyah, ditinjau dari
sudut psikologi bahwa pendidikan multicultural memandang manusia memiliki
beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan.
Bahwa manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas (jama’),
heterogenitas (keanekaragaman), dan keberagaman manusia itu sendiri.
Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigm, pola pikir, kebutuhan, keinginan
dan tingkat intelektual.[3]
2.
Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Intuisi Pendidikan Islam
Intuisi pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun,
termasuk kategori lembaga pendidikan Islam yang klasik. George Maksidi membagi
intuisi pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria materi pelajaran yang
diajarkan di sekolah-sekolah Islam, menjadi dua tipe, yaitu: intuisi pendidikan
inkluisif (terbuka) terhadap pengetahuan umum dan intuisi pendidikan eksklusif
(tertutup) terhadap pengetahuan umum.
Berdasarkan penggolongan George Maksidi,
Intuisi Pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Maktab/kuttab
adalah intuisi dasar, maka yang diajarkan di maktab/kuttab adalah khat,
kaligrafi, Al-Qur’an, akidah, dan syair.
b) Halaqah artinya
lingkaran (murid-murid yang melingkari gurunya yang duduk di atas lantai).
Halaqah merupakan intuisi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat
lanjutan.
c) Majelis
adalah intuisi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuan dari
berbagai desiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam majelis,
yaitu: majelis Al-Hadits, Al-Tadris, Al-Munazharah, Al-Muzakarah, Al-Syu’ara,
Al-Adab, Al-Fatwa.
d) Masjid
merupakan intuisi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW.
e) Khan berfungsi
sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama satu
diantaranya fiqh
f) Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan dari kehidupan diniawi
untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata.
g) Rumah-rumah
ulama digunakan untuk melakukan tranmisi ilmu agama, ilmu umum dan kemungkinan
lain petdebatan ilmiah.
h) Took buku dan
perpustakaan berperan sebagai tempat tranmisi ilmu dan islam.
i) Observatorium dan rumah sakit sebagai konsep
Dasar Pendidikan Multikultural di Intuisi Pendidikan Islam.[4]
D.
Jasa-Jasa Khalifah Al-Ma’mun
Untuk
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas
Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai
Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi
lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini
memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.
Lembaga
lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai
lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah,
masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh
kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu
pengetahuan dan puncak keemasan Islam.
Al-Makmun, pengganti Al-Rasyid, dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya
buku-buku asing digalakkan.[5] Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak
mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu
pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang
kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan
penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab,
seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum.[6]
Tim penerjemah yang dibentuk Al-Ma’mun terdiri
dari Hunain Ibn Ishaq sendiri dan dibantu anak dan keponakannya, Hubaish, serta
ilmu lain seperti Qusta ibn Luqa, seorang beragama Kristen Jacobite, Abu Bisr
Matta ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian, Ibn ‘Adi, Yahya ibn Bitriq dan
lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan
naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan
seperti kedokteran, bidang astrologi, dan kimia.[7] Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Pada masa Al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.[8]
E.
Kontroversi-Kontroversi Al-Makmun
Salah satu kebijakan Al-Ma’mun yang paling
sering mendapat sorotan ahli sejarah adalah sifat eksklusifnya pada pandangan
Mu’tazilah. Kaum ini mendukung Al-Ma’mun menentang ahlisunnah serta ulama’
hadits. Al-Ma’mun ikut campur dalam masalah ideologi rakyatnya. Bahkan mendesak
untuk memegang ideologi Mu’tazilah. Maka wajar pada masa ini para ulama banyak
yang mengecamnya karena memberantas kebebasan. Bahkan tidak segan menggunakan
pedangnya untuk menindas ulama yang menentang prinsipnya.[9]
Khalifah
al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits,
sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan
antara kata-kata hadits dan hadits berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat
Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini. Salah
satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud
al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau
Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan
dalam huruf dan bahasa Arab)?
Pada
tahun 210 H, al-Ma'mun menikah dengan Buran binti al-Hasan bin Sahl. Persiapan
pernikahan ini menelan biaya demikian banyak. Ayah Buran mencutikan beberapa
komandannya dan menugasi mereka untuk mengurusi perkawinan anaknya selama 17
hari. Dia menulis di atas beberapa carik kertas nama-nama ladang yang dia
miliki, lalu dia taburkan kertas itu kepada para komandan dan para pemuka Bani
Abbas. Barangsiapa yang mendapatkan kertas yang bertuliskan nama ladang, maka Buran
akan menyerahkan ladang itu kepadanya. Dia juga menaburkan guci yang berisi
permata di depan al-Ma'mun saat malam pengantin.
Pada
tahun 211 H, al-Ma'mun memerintahkan agar dikumandangkan bahwa dia berlepas
diri dari siapapun yang mengatakan bahwa Mu'awiyah itu adalah orang baik. Dia
juga memerintahkan kepada setiap orang bahwa orang yang paling mulia setelah
Rasulullah adalah Ali bin Abi Talib. [10]
Pada tahun 212 H, al-Ma'mun menyatakan dengan
terang-terangan bahwa al-Qur'an adalah makhluk disamping perkataannya bahwa Ali
lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar. Akibatnya
kaum muslimin merasa kesal dengan perkataan itu. Hampir saja ucapan-ucapan yang
sangat kontroversial itu menimbulkan bencana besar dikalangan kaum muslimin.
Ternyata rakyat sangat peka dengan masalah yang mereka anggap sebagai bagian
penting dari agama itu. Akibat protes keras dari publik dan rakyatnya itu
menghentikan ide-ide kontroversial al-Ma'mun.[11]
PENUTUP
- Kesimpulan
Khalifah Al-Ma’mun mempunyai nama asli Abdullah
Al-Makmun atau Al-Makmun Al-Rasyid atau Al-Makmun bin Al-Rasyid
bin Al-Mahdi mempunyai gelar Abu Al-Abbas, lahir pada tanggal 15 Rabi'ul
Awal 170 H / 786 M. Seorang khalifah bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun
813-833. Ia memerintah Kerajaan Bani Abbasiyah menggantikan posisi ayahnya
yakni Harun Ar-Rasyid. Pada masa kepemimpinan beliau periode Islam
mencapai puncak keemasan. Dengan ditandai oleh munculnya para ilmuwan-ilmuwan
Islam pada zaman ini seperti Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan lain-lain
sebagainya. Sampai pada saat itu kota Baghdad menjadi kiblat dari para ilmuwan
dunia. Tak terkecuali oleh ilmuwan dari bangsa barat. Munculnya beberapa
ilmuwan Islam ini berkat terobosan beliau pada masa kepemimpinannya. Seorang
khalifah yang sangat menggilai ilmu ini mendatangkan beberapa buku dari Negara
Eropa sekaligus penterjemahnya. Buku-buku ini dikumpulkan di sebuah perpustakaan
yang berbasis perguruan tinggi yaitu Baitul Hikmah. Baitul hikmah ini
sendiri disebut-sebut sebagai jasa terbesar yang diberikan oleh Khalifah
Al-Makmun dalam Peradaban Islam.
Akan
tetapi dibalik kegemilangan dan keberhasilan Kerajaan Islam sebagai pusat
peradaban dunia pada masa ini. Khalifah Al-Makmun menyimpan sebuah kontroversi.
Beliau yang menganut aliran Syi’ah tidak segan-segan untuk menindas warganya
bahkan para Ulama’ yang tidak mau mengikuti alirannya. Selain itu, faham
Mu’tazilah yang dianutnya juga menyimpan sebuah perdebatan yang masih
diperdebatkan oleh para ulama.
Di
samping semua kontroversi yang ada, tetaplah wajib untuk kita mengenang jasa
Khalifah Al-Makmun. Karena berkat terobosan yang beliau lakukan, Islam bisa
berbicara lebih dalam dunia internasional. Khususnya pada bidang Ilmu
Pengetahuan. Berkat beliau jugalah Islam mampu menggapai puncak masa
keemasannya dan menjadi Kiblat dari seluruh peradaban di dunia pada masa itu.
DAFTAR PUSTAKA
-
Bastoni,Andri.diakses
dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/26/lk9cb7-daulah-abbasiyah-almakmun-813833-m-mengembangkan-sains.Tanggal
15 April 2014 Pukul 12:01.
-
Maryam,Siti.2003.
Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta :
Lesfi Yogyakarta
-
Rodliyana, M. Dede.Hegemoni Fiqih Terhadap
Ahli Hadith.Jurnal Fiqh.Vol.1.No.1.2011
-
Rohimah. Tragedi Al-Mihnah (Studi Kasus
Pada Masa Pemerintahan Al Makmun).Jurnal Ensiklopedi Islam.
-
Suwitno
& Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Persada Media
-
Wikipedia
diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ma%27mun_Ar-Rasyid tanggal 14 April 2014 Jam 13:37
-
Yatim,Dr Badri
M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011
[1] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta,2011
[2] Wikipedia diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ma%27mun_Ar-Rasyid
tanggal 14 April 2014 Jam 13:37
[3] Suwitno & Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana Persada Media
[4] Suwitno & Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana Persada Media
[5] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta,2011
[6] Andi Bastoni diakses dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/26/lk9cb7-daulah-abbasiyah-almakmun-813833-m-mengembangkan-sains
Tanggal 15 April 2014 Pukul 12:01.
[7] Siti Maryam.2003. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik
Hingga Modern. Yogyakarta : Lesfi Yogyakarta
[8] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta,2011
[10] Rohimah. Tragedi
Al-Mihnah (Studi Kasus Pada Masa Pemerintahan Al Makmun).Jurnal Ensiklopedi
Islam.
[11] Rohimah. Tragedi
Al-Mihnah (Studi Kasus Pada Masa Pemerintahan Al Makmun).Jurnal Ensiklopedi
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar